Di sebuah desa di Sulawesi Utara, tinggallah seorang ibu bersama dua anak gadisnya. Mereka benar-benar miskin, membeli makanan saja tak mampu. Sehari-hari, keluarga itu hanya menyantap buah-buahan yang tumbuh di hutan sekitar rumah mereka. Meski demikian, mereka hidup bahagia dan selalu bersyukur.
Suatu masa, musim kemarau melanda desa mereka. Pohon-pohon yang ada di hutan mulai Iayu dan kering daunnya. Pon di
"Kak, kita sudah berjalan dari tadi, tapi kita belum menemukan satu buah pun," kata Si Bungsu.
“Sabar Dik, mungkin jika kita berjalan Iebih ke dalam, kita akan me nemukannya,” jawab si Sulung. Dalam hatinya dia mulai khawatir. Perutnya mulai keroncongan.
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk masuk terus ke dalam hutan. Mereka berusaha mencari buah-buahan, namun tak mendapatkan apa-apa.
Karena kelelahan, mereka beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. Meskipun daunnya lebat, pohon itu tak berbuah. Angin berembus Sepoi-sepoi, kedua gadis itu mulai mengantuk dan akhirnya tertidur lelap.
Tiba-tiba, terdengar suara "Keke... kow... keke... kow...". Bersamaan dengan suara itu, beberapa buah mangga masak berjatuhan. Salah satunya ,mengenai kaki si Bungsu.
Si Bungsu terkejut dan terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek matanya, ia melihat apa yang mengenai kakinya.
"Buah mangga? Dari mana datangnya?" tanyanya heran. Ia segera membangunkan kakaknya dan menceritakan apa yang terjadi. Sementara itu, suara "Keke... kow... keke.. kow" terus terdengar. Kedua gadis itu masih terus mencari asal suara tersebut, tapi tak berhasil.
Kejadian itu terus berulang. Setiap kali mereka ke hutan, mereka akan dijatuhi berbagai jenis buah-buahan. Dan suara misterius itu akan terus membahana.
Akhirnya si Sulung berteriak. "Siapakah kamu? Ayo tunjukkan dirimu, aku ingin berterima kasih."
"Keke... kow... keke... kow..." tiba-tiba muncullah seekor burung di hadapan mereka. Rupanya burung itulah yang selama ini memberikan buah- buahan kepada kedua gadis itu.
"Hai gadis miskin, tak usah berterima kasih padaku. Anggaplah itu hadiah karena kalian berdua bekerja sangat rajin dan tak pernah mengeluh," kata burung itu.
Kedua gadis itu lalu menamainya burung kekekow. Sejak hari itu, burung kekekow memenuhi kebutuhan makanan mereka, bahkan kadang- kadang memberikan kain yang indah. Burung kekekow tidak tega melihat pakaian mereka yang kumal dan sudah tak layak pakai. Ia juga memberikan perhiasan emas. Keluarga itu sekarang hidup berkecukupan. Mereka tak lagi berpakaian buruk dan kekurangan makanan. Kedua gadis itu tampak cantik.
Berita tentang burung kekekow ini tersebar ke seantero desa. Teman-teman Si Sulung dan si Bungsu rupanya iri pada kecantikan mereka.
"Dari mana kalian mendapatkan pakaian dan perhiasan yang indah-indah ini?" tanya mereka.
Kedua gadis itu pun menceritakan dengan jujur apa yang mereka alami. Teman-temannya tak terima. Mereka lalu melapor pada kepala desa. Mereka juga ingin seperti kedua gadis itu.
Kepala desa memerintahkan semua warga untuk mencari burung kekekow. Setelah berhasil menangkapnya, para warga berkumpul di balai desa untuk mengajukan bermacam-macam permintaan, termasuk kepala desa.
"Berikan gelang emas untuk istriku," kata kepala desa. "Aku ingin kain sutra yang indah," kata seorang warga.
"Aku ingin peralatan makan dari perak," kata warga yang lain.
Suasana menjadi gaduh, masing-masing warga mengajukan permintaan mereka.
Namun, apa yang terjadi? Burung kekekow diam saja. Ia tak memberikan apa pun pada warga tersebut. Ia hanya berteriak "Keke... kow... keke... kow".
Warga mulai naik pitam. Mereka menganggap burung kekekow sengaja mengejek mereka. Dengan persetujuan kepala desa, mereka pun menyembelih burung itu dan membuang bangkainya begitu saja.
Si Sulung dan si Bungsu menangis. Mereka tak menyangka warga begitu tega. Keluarga itu mengubur bangkai tersebut di halaman rumah mereka. Mereka menanam bunga yang indah di atasnya, sebagai penghormatan pada burung yang pernah menolong mereka.
Ajaib, bunga-bunga itu tak bertambah besar. Di atas makam burung kekekow itu justru tumbuh sebatang pohon besar yang menghasilkan buah sepanjang tahun. Anehnya, buah yang dihasilkan selalu berganti-ganti. Karena jumlahnya banyak, si Sulung don si Bungsu menjual
sebagian buah itu ke pasar. Dari situ mereka bisa hidup dengan Iayak. Burung kekekow terus menolong mereka meskipun dia sudah mati.
Suatu masa, musim kemarau melanda desa mereka. Pohon-pohon yang ada di hutan mulai Iayu dan kering daunnya. Pon di
"Kak, kita sudah berjalan dari tadi, tapi kita belum menemukan satu buah pun," kata Si Bungsu.
“Sabar Dik, mungkin jika kita berjalan Iebih ke dalam, kita akan me nemukannya,” jawab si Sulung. Dalam hatinya dia mulai khawatir. Perutnya mulai keroncongan.
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk masuk terus ke dalam hutan. Mereka berusaha mencari buah-buahan, namun tak mendapatkan apa-apa.
Karena kelelahan, mereka beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. Meskipun daunnya lebat, pohon itu tak berbuah. Angin berembus Sepoi-sepoi, kedua gadis itu mulai mengantuk dan akhirnya tertidur lelap.
Tiba-tiba, terdengar suara "Keke... kow... keke... kow...". Bersamaan dengan suara itu, beberapa buah mangga masak berjatuhan. Salah satunya ,mengenai kaki si Bungsu.
Si Bungsu terkejut dan terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek matanya, ia melihat apa yang mengenai kakinya.
"Buah mangga? Dari mana datangnya?" tanyanya heran. Ia segera membangunkan kakaknya dan menceritakan apa yang terjadi. Sementara itu, suara "Keke... kow... keke.. kow" terus terdengar. Kedua gadis itu masih terus mencari asal suara tersebut, tapi tak berhasil.
Kejadian itu terus berulang. Setiap kali mereka ke hutan, mereka akan dijatuhi berbagai jenis buah-buahan. Dan suara misterius itu akan terus membahana.
Akhirnya si Sulung berteriak. "Siapakah kamu? Ayo tunjukkan dirimu, aku ingin berterima kasih."
"Keke... kow... keke... kow..." tiba-tiba muncullah seekor burung di hadapan mereka. Rupanya burung itulah yang selama ini memberikan buah- buahan kepada kedua gadis itu.
"Hai gadis miskin, tak usah berterima kasih padaku. Anggaplah itu hadiah karena kalian berdua bekerja sangat rajin dan tak pernah mengeluh," kata burung itu.
Kedua gadis itu lalu menamainya burung kekekow. Sejak hari itu, burung kekekow memenuhi kebutuhan makanan mereka, bahkan kadang- kadang memberikan kain yang indah. Burung kekekow tidak tega melihat pakaian mereka yang kumal dan sudah tak layak pakai. Ia juga memberikan perhiasan emas. Keluarga itu sekarang hidup berkecukupan. Mereka tak lagi berpakaian buruk dan kekurangan makanan. Kedua gadis itu tampak cantik.
Berita tentang burung kekekow ini tersebar ke seantero desa. Teman-teman Si Sulung dan si Bungsu rupanya iri pada kecantikan mereka.
"Dari mana kalian mendapatkan pakaian dan perhiasan yang indah-indah ini?" tanya mereka.
Kedua gadis itu pun menceritakan dengan jujur apa yang mereka alami. Teman-temannya tak terima. Mereka lalu melapor pada kepala desa. Mereka juga ingin seperti kedua gadis itu.
Kepala desa memerintahkan semua warga untuk mencari burung kekekow. Setelah berhasil menangkapnya, para warga berkumpul di balai desa untuk mengajukan bermacam-macam permintaan, termasuk kepala desa.
"Berikan gelang emas untuk istriku," kata kepala desa. "Aku ingin kain sutra yang indah," kata seorang warga.
"Aku ingin peralatan makan dari perak," kata warga yang lain.
Suasana menjadi gaduh, masing-masing warga mengajukan permintaan mereka.
Namun, apa yang terjadi? Burung kekekow diam saja. Ia tak memberikan apa pun pada warga tersebut. Ia hanya berteriak "Keke... kow... keke... kow".
Warga mulai naik pitam. Mereka menganggap burung kekekow sengaja mengejek mereka. Dengan persetujuan kepala desa, mereka pun menyembelih burung itu dan membuang bangkainya begitu saja.
Si Sulung dan si Bungsu menangis. Mereka tak menyangka warga begitu tega. Keluarga itu mengubur bangkai tersebut di halaman rumah mereka. Mereka menanam bunga yang indah di atasnya, sebagai penghormatan pada burung yang pernah menolong mereka.
Ajaib, bunga-bunga itu tak bertambah besar. Di atas makam burung kekekow itu justru tumbuh sebatang pohon besar yang menghasilkan buah sepanjang tahun. Anehnya, buah yang dihasilkan selalu berganti-ganti. Karena jumlahnya banyak, si Sulung don si Bungsu menjual
sebagian buah itu ke pasar. Dari situ mereka bisa hidup dengan Iayak. Burung kekekow terus menolong mereka meskipun dia sudah mati.
Komentar
Posting Komentar